Pendidikan tekankan aspek adab dan perjuangan dakwah, yang lebih dikenal dengan istilah kaderisasi. Alhamdulillah, ini core dari program ormas Wahdah Islamiyah.
Oleh: Ust. Ilham Jaya, Lc (Ketua Wahdah DKI Jakarta Depok)
Sesak rasanya mendengar berita tentang perilaku bejat yang dilakukan oleh oknum dari kalangan profesi mulia seperti pendidik atau petugas kesehatan.
Oknum yang seharusnya menjadi contoh dalam standar moral dan akhlak bagi masyarakat luas, justru berubah jadi “monster” yang membahayakan masyarakat. Apalagi terhadap kelompok rentan: perempuan dan anak-anak.
Alhamdulillah, perbuatan oknum tersebut bisa terbongkar ke publik yang berujung kepada proses hukum. Bagaimana bila perbuatan amoral tersebut tidak pernah terungkap? Ngeri membayangkan kerusakan yang bisa ditimbulkannya.
Kita mungkin baru tersadar bahwa ada perbedaan bahkan kadang gap antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan spiritual. Pintar dan terampil tidak selalu berbanding lurus dengan akhlak dan integritas pribadi.
Ternyata, orang pintar yang jahat justru bisa lebih berbahaya daripada orang bodoh yang jahat. Walaupun keduanya sama berbahaya dan tidak diinginkan.
Wajar jika kita kemudian mempertanyakan, bukankah para pelaku ini masuk dalam kategori kelompok terdidik!?
Bukankah mereka alumni dari “sekolah” kita!?
Pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita kepada soal yang lebih mendasar, apa yang salah dalam sistem pendidikan kita?
Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala memuji generasi Sahabat Nabi. Dalam sebuah ayat disebutkan,
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (TQS. Aali Imran: 110).
Menurut Dr. M. Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir, ayat ini mengandung petunjuk bahwa pada dasarnya umat Islam adalah umat terbaik.
Itu berlaku baik terhadap generasi pendahulu umat ini maupun terhadap generasi belakangan, jika dibandingkan dengan umat yang lainnya. Meskipun begitu, para Sahabat Nabi lebih baik daripada generasi lainnya.
Dalam ayat lain disebutkan,
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (TQS. Al-Fath: 18).
Ayat ini bercerita tentang peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai Bai’atur Ridhwan/bai’at yang mendapat ridha Allah Ta’ala.
Bai’at atau janji setia ini terjadi di daerah dekat kota Makkah yang disebut Hudaibiyah. Ada sekitar 1.400 Sahabat yang hadir dan melakukan bai’at terebut. (Lihat: Tafsir as-Sa’di dan Prof. Hikmat Basyir Yasin, Fathul Karim).
Di dalam Al-Qur’an, dasar pendidikan generasi tertuang dalam kisah hamba Allah yang shalih, Luqmanul Hakim. Mari kita renungkan bersama petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat berikut ini.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
“(Luqman berkata): ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.’
“Hai anakku, dirikanlah Shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (TQS. Luqman: 13-19).
Pedoman pendidikan dalam kisah Luqmanul Hakim itu terurai lebih lanjut dalam implementasi dan praktik pendidikan Sahabat. Berikut ini cuplikan dari pengalaman Sahabat-sahabat Nabi dahulu.
Ibnu Mas’ud RA. berkata, “Jagalah shalat anak-anak kalian dan ajarkan kebaikan kepada mereka, karena sesungguhnya berperilaku baik itu adalah buah dari kebiasaan” (Riwayat Baihaqi). Riwayat ini berbicara tentang pendidikan shalat dan pentingnya pembiasaan.
Tentang ibadah puasa dan membiasakan puasa, riwayat berikut menjelaskannya. Rabi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ RA. berkata, “Kami berpuasa dan menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Kami mengajak mereka ke masjid dan membuatkan mereka mainan dari bulu. Jadi, kalau ada dari mereka yang menangis maka kami berikan mainan itu kepadanya sampai masuk waktu buka puasa” (HR. Bukhari-Muslim).
Ibadah, iman dan taqwa ternyata merupakan nilai-nilai dan praktik yang ditanamkan sejak dini dalam model pendidikan Al-Qur’an dan generasi Sahabat. Mereka telah melatih anak didik mereka dengan kecerdasan spiritual, sebelum merambah kepada bentuk kecerdasan lainnya.
Mereka secara sadar dan terstruktur meletakkan fondasi kecerdasan spiritual dan adab pada peserta didiknya.
Proses ta’dib terhadap semua bentuk ibadah dan kebaikan, sebelum memasuki dunia ilmu yang lebih dalam ini, misalnya, diceritakan oleh Sahabat junior Jundub bin Abdillah RA.
“Kami dulu bersama dengan Nabi SAW. dan kami kanak-kanak jelang balig,” kenang Jundub. “Kami belajar iman sebelum kami belajar Al-Qur’an. Kemudian kami belajar Al-Qur’an sehingga dengannya bertambah keimanan kami” (Dinilai shahih oleh Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah, 1: 37-38).
Dalam konteks pendidikan Qurani yang lebih luas, Ummul Mu’minin Aisyah RA., bercerita tentang proses pendidikan yang dilalui para Sahabat Nabi.
“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun dari Al-Qur’an adalah surah mufashshal/ yang ringkas, yang di dalamnya disebutkan tentang Surga dan Neraka. Dan ketika manusia telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram,” demikian Ummul Mu’minin mengawali ceritanya.
“Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamar.’ Niscaya mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamar selama-lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertama kali turun adalah ayat, “Janganlah kalian berzina.’ niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya.’
“Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam. di Makkah yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah: ‘BAL AS SAA’ATU MAU’IDUHUM WAS SAA’ATU ADHAA WA AMARR (QS. Al-Qamar: 46).’
Dan tidaklah surah al-Baqarah dan an-Nisa’ turun kecuali setelah aku berada di sisi beliau,” pungkasnya (HR. Bukhari, 4993).
Ibnu Taimiyah (w. 726 H./1328 M.) kelak menulis, “Nabi SAW. dahulu mengajarkan kepada Sahabat-sahabatnya iman, yaitu kandungan yang dibawa oleh Al-Qur’an, berupa perintah dan informasi yang harus ditaati dan dibenarkan. Dan ini valid. Karena jumlah para penghafal Al-Qur’an lebih sedikit daripada jumlah kaum Muslimin umumnya” (Jawab al-I’tiradhat al-Mishriyyah).
Tradisi ini turun kepada generasi berikutnya. Ini cerita dari orang yang mengalami langsung model pendidikan tersebut, Abdullah bin Mubarak (w. 181 H./797 M.).
Katanya, “Aku menuntut adab tiga puluh tahun dan aku menuntut ilmu dua puluh tahun. Generasi dahulu menuntut adab sebelum ilmu” (Ibnul Jazari, Ghayatun Nihayah fii Thabaqatil Qurra, 1: 446).
Cerita Ibnu Mubarak ini sangat gamblang menggambarkan tentang proses dan perjalanan karier ilmiahnya: adab kemudian ilmu.
Kita pindah ke ulama lain. Ini bahkan lebih senior: Muhammad bin Sirin (w. 110 H./728 M.). Narasi yang disampaikannya sama, “Generasi terdahulu mempelajari al-huda (perilaku) sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” (Al-Khatib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, 1: 79)
Pernyataan ini membedakan secara jelas antara al-huda, atau yang penulis terjemahkan sebagai perilaku; dengan ilmu.
Kalau yang pertama lebih menekankan kepada praktik ibadah dan akhlak serta kesalehan mental, maka yang kedua lebih menonjolkan kecerdasan intelektual dan prestasi akademik.
Kalau di bagian awal kita menyinggung tentang bahaya orang pintar namun biadab, Sahabat Nabi jauh-jauh hari telah mengingatkan terhadap bahaya fenomena ilmu yang kosong dari adab.
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhumaa, berkata, “Kami telah melewati hidup yang lama dan seorang dari kami diberi karunia iman sebelum Al-Qur’an. Setelah surah Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW., maka dia belajar halal dan haram, perintah dan larangan, dan batas-batas dalam surah tsb., sebagaimana (pola) kalian hari ini belajar Al-Qur’an.”
Masih dalam riwayat yang sama, Ibnu Umar selanjutnya mengungkapkan kritik.
“Kemudian aku sungguh melihat hari ini orang-orang yang diberi Al-Qur’an sebelum mendapatkan iman. Maka dia membaca Al-Qur’an dari al-Fatihah hingga akhir Al-Qur’an, sedangkan dia tidak tahu (apa pun) tentang perintah dan larangan serta batas-batas di dalam Al-Quran itu. Seperti orang yang membuang korma kering” (Riwayat Hakim, dinilai shahih oleh Hakim dan Baihaqi).
Ibnu Umar tidak setuju bila Al-Qur’an dipelajari tanpa makna dan aksi lanjutan yang jelas. Alasannya, pelajaran Al-Qur’an tersebut tidak dilandasi sebelumnya oleh iman dan itu berbeda dengan tradisi ilmu di kalangan Sahabat.
Pendidikan yang menekankan pada aspek adab dan perjuangan dakwah, yang lebih dikenal dengan istilah kaderisasi. Alhamdulillah, ini menjadi core dari program organisasi kemasyarakatan seperti Wahdah Islamiyah.
Ini sebagaimana dikutip oleh Dr. Samsuddin dari pernyataan dari KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah,
“Nabi SAW. di Makkah juga begitu (melakukan kaderisasi), menyampaikan dakwah secara umum dan membentuk kader-kader seperti di Darul Arqam di Shuffah. Mereka (alumni Darul Arqam dan Shuffah) ini merupakan pelopor penyebaran Islam. Semangat itu yang kita ambil. Bahwa harus ada kader-kader yang hatinya dipenuhi iman, pikirannya betul-betul tershibghah dengan shibghah Quran. Langkah-langkahnya dituntun oleh Al-Qur’an dan Hadits, dan mereka harus memahami dan memiliki wawasan yang baik tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah profil kader yang kita harapkan. Kader ini mesti ada dan mesti banyak jumlahnya, agar bisa menyebarkan kebaikan ini lebih cepat dan maksimal” (Sistem Kaderisasi Dai, hlm. 122-123).
Kita berharap spirit pembinaan umat yang sebagaimana diaspirasikan oleh Wahdah Islamiyah itu berhasil dan terus berlanjut.
Kita juga berharap spirit seperti itu tidak berhenti sebagai program hanya oleh satu dua ormas semata. Tapi menjadi gerakan dalam pendidikan kita. Sehingga sistem pendidikan kita melahirkan alumni yang selain pintar, sebelumnya telah beradab dan punya integritas yang tinggi.